Perhelatan akbar keris nusantara yang bertajuk Keris Kamardhikan Award bulan Agustus lalu menorehkan sejarah perkerisan yang luar biasa; para empu masa kini telah mampu melahirkan adikarya-adikarya perkerisan yang luar biasa sehingga mampu melanjutkan tradisi pembuatan keris ditanah air sebagai salah satu budaya adiluhung bangsa. Tingginya kualitas keris-keris empu masa kini, yang masih tak sedikit pula tetap melestarikan tata laku pembuatan keris tradisional, membuat keris-keris tersebut layak menyandang predikat sebagai keris tangguh kamardhikan yang bercirikan utama pada kemerdekaan memilih bentuk baik bentuk-bentuk konvensional dengan mutrani keris-keris tangguh sepuh ataupun merdeka memilih dan merancang keris-keris dengan dapur baru yang belum pernah ada sebelumnya.
Keris Kyahi Kondo karya Empu Subandi, Jalak Ngore karya Empu Sukamdi dan Pasopati karya Sanggar Sentosa adalah sedikit contoh ketinggian keahlian empu-empu kamardhikan untuk mutrani keris dapur klasik sedangkan keris Kyahi Sardula Kasmaran karya sanggar Sentosa, Kyahi Kolo Nggremet yang juga karya sanggar Santosa, Kyahi Satrio Gugah karya KRT.Toni Junus dan Kyahi Gelombang Cinta karya Empu Sukamdi juga telah dapat mewakili ketinggian kualitas dan intangible aspect dari babaran dapur baru para empu kamardhikan.
Peluang dan Tantangan Globalisasi Keris
Selanjutnya, keris tangguh kamardhikan dihadapkan pada sebuah peluang sekaligus tantangan bahwa tak dapat dipungkiri diapresiasinya keris oleh para kolektor pisau dan senjata tajam internasional memaksa para empu kita untuk segera menentukan sikap demi menjamin kelangsungan hidup tradisi perkerisan sebagai ikon budaya adiluhung bangsa.
Bagaimanapun, apresiasi dunia internasional terhadap keris akan memunculkan kerawanan atas Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) mengingat beberapa kali sudah kekayaan intelektual dan budaya bangsa ini diklaim secara sepihak oleh bangsa lain. Demikian pula, kekayaan tradisi perkerisan nusantara juga mulai dibajak diluar negeri dengan mudahnya kita temukan pisau-pisau bermerk internasional asal Amerika yang menggunakan pola pamor grasshopper wing, shark tooth atau rainy gold yang tak lain adalah pamor-pamor yang kita kenal sebagai lar gangsir, untu hiu (yang sangat mirip dengan pamor untu walang) dan udan mas.
Karenanya, pendaftaran HaKI secara kolektif atas 400-an jenis dapur keris dan 160 ragam pamor mutlak harus segera dilakukan dan sebagai peninggalan budaya bangsa adalah kewajiban mutlak bagi pemerintah untuk melakukannya.
Pentingnya Signature Keris
Sedangkan bagi para empu kamardhikan menyongsong globalisasi keris hal mutlak yang harus dilakukan adalah pemberian signature yang dalam bahasa Jawanya dapat kita sebut sebagai tetenger atau penanda khas pada keris-keris ciptaannya sebagai “trade mark” sekaligus penanda indentitas sang empu yang berbeda antara satu empu dengan empu-empu lain sehingga masyarakat secara luas akan mudah mengenal karya-karyanya terutama yang dalam bentuk mutrani keris-keris klasik.
Empu-empu terdahulu pada dasarnya telah memberi tetenger pada keris-keris ciptaannya sehingga generasi-generasi selanjutnya akan dengan mudah mengenali siapa pembuat keris miliknya seperti Empu Jaka Sura yang menandai pesi keris-keris buatannya dengan tindikan yang menurut legenda awalnya bertujuan agar mudah membawa keris-kerisnya dengan di-rentengi.
Ada juga Empu Umyang yang menandai keris-keris ciptaannya dengan pucukan keris luknya yang menghadap kebelakang, Empu Luwing yang selalu membuat keris ngigir lembu dan ada-ada yang tegas atau Empu Supadriya yang menandai keris-keris buatannya dengan pesi berbentuk puntiran.
Pada zaman kamardhikan masih ada empu yang berusaha tetap memakai tetenger pada kerisnya seperti Empu Guno Sasmito dari Magetan, Jawa Timur yang menandai keris-keris atau tombak ciptaannya dengan pesi berbentuk sirah gundala. Khusus pada keris, Empu Guno menambahi penanda khusus dalam bentuk tikel alis yang nggelung keatas.
Selain penanda khas seperti diatas masih ada banyak penanda khas lagi yang dipakai empu terdahulu seperti bentuk pesi tapak jalak, kotak, peli kethek, atau bentuk pucukan yang mbuntut tumo, nyujen atau bentuk-bentuk lain pada detail bagian-bagian bilah keris.
Penanda khas seperti ini sejak ratusan tahun lampau juga telah digunakan oleh para empu katana, senjata khas samurai jepang dengan memberi inisial, tanda tangan atau nama pada pedang-pedang buatannya (mei) yang diletakkan pada bagian pesi yang tertanam pada gagang pedang sehingga tak dapat dilihat secara telanjang sehingga katana lebih mudah dikenali siapa pembuatannya dan kapan dibuat seperti katana-katana buatan Soshu, Yamashiro, Bizen, Mino dan Yamato pada Era Kamakura (1185-1331 M).
Sebenarnya, tanpa diberi penanda khususpun setiap empu secara alami akan memiliki penanda khusus pada karya-karya baik dalam bentuk pilihan ketebal-tipisan bilah keris atau pada penggarapan detail-detail keris lain tetapi harus diakui, pengamatan tetenger alami seperti ini akan butuh waktu yang lama dan perlu kejelian yang teramat sangat.
Apalagi, munculnya mesinisasi keris membuka lebar berbagai peluang penduplikasian keris dengan tujuan atau alasan apapun sehingga pemberian tetenger pada keris akan memperjelas identitas setiap empu pada keris-keris ciptaannya.
Dengan demikian diharapkan akan muncul nama-nama besar empu keris sebagai pengrajin senjata tajam bermutu dengan reputasi internasional seperti Sheffield dari Inggris, Fairbairn, Damaskus Style dari Suriah, atau Teddy Cardin dari Hegarmanah, Bandung yang cukup tersohor dikalangan kolektor pisau dunia.
Tetenger dan Ilmu Tangguh
Lebih dalam, berdasarkan pengamatan penulis, pada dasarnya tetenger-tetenger yang diciptakan oleh para empu-empu terdahulu memiliki keterkaitan erat dengan tangguh atau prakiraan penjamanan dibuatnya sebilah pusaka karena pada dasarnya tata aturan tangguh sendiri tak lepas dari paugering praja ing reh padhuwungan atau aturan kerajaan dalam hal perkerisan.
Karena itu, keris-keris dalam satu zaman dipastikan memiliki tetenger yang sama berupa satu atau dua kesamaan ciri khas seperti keris-keris tangguh Tuban yang memiliki kesamaan bentuk ganja yang nyebit rontal. Artinya, ada dua tetenger yang dibuat oleh para empu terdahulu yakni tetenger pribadi untuk menunjukkan identirtas sang empu juga tetenger kolektif untuk menunjukkan zaman dibuatnya keris tersebut.
Dengan demikian, akan sangat mungkin, jika kita mengumpulkan ribuan atau bahkan puluhan ribu keris untuk dipelajari tetenger-tetenger-nya kita akan dapat melakukan dokumentasi terhadap prakiraan penjamanan keris-keris dari zaman ke zaman sehingga penangguhan yang selama ini masih sebatas kawruh akan dapat terdokumentasikan berdasarkan uji fisik ribuan bilah keris yang ada.
Dengan cara tersebut, upaya pemastian umur sebuah pusaka akan lebih dapat dilakukan dan didokumentasikan secara ilmiah sehingga krisologi akan dapat semakin terlengkapi sembari menunggu diperbolehkannya penggunaan C 14 atau karbon arang untuk memastikan umur pusaka secara lebih akurat.
Karenanya, selain sebagai penanda indentitas, tetenger pada keris-keris kamardhikan mutlak diperlukan untuk memberi kejelasan mengenai batasan rentang waktu terhadap karya-karya yang bisa disebut sebagai tangguh kamardhikan karena beberapa pihak mengatakan bahwa keris-keris yang bisa disebut keris tangguh kamardhikan adalah keris-keris buatan pada kurun waktu 1945 hingga 1998 saja sementara sesudahnya disebut sebagai keris tangguh reformasi.
Tetenger Pada Keris Kamardhikan
Masih terbuka luas kesempatan bagi para empu kamardhikan untuk memberi penanda khas bagi keris-keris karyanya agar lebih mudah dikenali dan memiliki trade mark yang kuat bahkan tetenger ini dapat di patenkan sebagai penanda karya seorang empu.
Para empu bisa mengkombinasikan kekhasan daerahnya sebagai penanda khas pada daerahnya seperti Empu Rudi, Surabaya misalnya dapat menggunakan pesi berbentuk Tugu Pahlawan atau endas baya untuk menandai karya-karyanya sekaligus menandai bahwa beliau adalah empu dari Kota Surabaya.
Demikian juga Empu Subandi bisa menandai keris-keris ciptaannya dengan pesi berbentuk paku sebagai penanda karya empu kamardhikan di tlatah Paku Buwanan, Solo. Empu-empu Yogyakarta juga dapat menandai karyanya dengan bentuk pesi serupa Tugu Yogya atau pucukan berbentuk mahkota seperti bentuk bagian atas lambang Keraton Yogyakarta Hadiningrat.
Bisa juga digunakan penanda khas lain seperti pemasangan inisial nama sang empu baik dalam bentuk tatahan emas atau hanya ukiran relief biasa dengan huruf Jawa atau abjad seperti yang ada pada keris karya M. Ng. Suyanto Wiryocurigo-Solo yang menjadi koleksi Duta Besar Belgia untuk Indonesia, Marc Trenteseau yang berhias sinarasah mas dengan inisial Marc dalam dua bentuk, huruf jawa Mo – To dan abjad M –T.
Dengan cara ini, masyarakat akan lebih mudah mengenali para empu pembuat keris tangguh kamardhikan sehingga lebih mudah melakukan apresiasi terhadap keris-keris masa kini yang selanjutnya memupuk kecintaan masyarakat luas terhadap keris sebagai warisan budaya adiluhung bangsa Indonesia. Selain itu juga merupakan upaya penghormatan yang lebih terhadap kreatifitas dan inovasi para empu dalam berkarya.
Arief Syaifuddin Huda, Awal November 2008
Sumber-sumber :
1. Buku Ensiklopedi Keris.
2. Buku Keris antara Mistik dan Nalar.
3. Majalah PAMOR edisi Juli-September 2008.
4. Majalah PAMOR edisi Januari-Maret 2008.
5. Majalah Intisari edisi Januari 1998.
6. Art of Asia Magazine, March-April Edition 1991.
7. Katalog Pameran Keris Kamardhikan Award 2008.
Signature Pada Keris-keris Tangguh Kamardhikan
Keris Pembawa Keberuntungan - Keris Pembawa Kesialan
Mimpi menemukan bayi laki-laki tampan dan lucu malam itu ternyata pertanda bahwa Ahmad akan memperoleh sebilah keris. Entah, keesokan harinya ia bertemu dengan seorang laki-laki dan meski laki-laki itu tak dikenalnya, tapi tiba-tiba memberinya sebilah keris setelah meminta uang dua puluh ribu rupiah sebagai ongkos pulang sambil berpesan agar keris itu dirawatnya baik-baik.
Entah karena kebetulan atau memang karena tuah keris itu, jabatan Ahmad di kantornya pelan tapi pasti mulai merambat naik, kondisi itu dimanfaatkannya untuk mulai menggeluti bisnis sampingan yang sudah lama diidamkannya. Sekali lagi, keberuntungan berpihak pada Achmad, usaha kecil ini berkembang pesat menjadi sebuah toko besar dengan banyak langganan.
Beda Ahmad, Beda lagi apa yang dialami Burhan, rumah tangganya kerap dilanda pertengkaran, di kantor juga demikian, ada saja masalah yang membuat adu urat dengan sesama pegawai parahnya lagi, si bungsu tak ada habisnya sakit-sakitan ada saja yang dikeluhkan mulai dari demam biasa hingga terakhir kata dokter kena gangguan radang broncheolus.
Semua konsultan, dokter bahkan orang pintar didatanginya tapi sejauh itu tak ada hasilnya. Suatu ketika ia mendengar ada methode penyelesaian masalah rumah tangga dan penyakit dengan sebutan terapi ruqyah.
Dalam terapi itu, Sang Ustadz ahli ruqyah mengatakan bahwa ia memiliki pusaka yang “dihuni” jin jahat dan jin jahat itulah yang mengganggu keluarganya karena itu harus dibuang dengan dilarung ke sungai bila ingin semua masalahnya selesai. Terpaksalah, keris Singobarong berpamor Blarak Sineret itu dibuangnya ke sungai.
Keris, Dipuja Sekaligus Ditakuti
Barangkali dua ilustrasi diatas adalah secuil contoh kecil mengenai realita perkerisan di masyarakat kita. Keris begitu dekat dengan hal-hal yang bersifat mistis, sehingga bagi yang merasa diuntungkan, keris begitu diagungkan, dikeramatkan, dihormati dan dipuja. Sebaliknya, bagi yang merasa dicelakakan oleh keris yang dimilikinya, keris menjadi benda yang ditakuti dan harus dibuang jauh-jauh.
Sayangnya, minimnya apresiasi dan pengetahuan masyarakat terhadap keris sebagai salah satu benda cagar budaya yang harus dilindungi keberadaannya membuat masyarakat menelan begitu saja perintah orang-orang yang dianggap “mengerti” untuk membuang keris yang dimilikinya ke laut atau ke sungai, padahal masih ada cara “membuang” keris yang lebih baik yakni dengan cara menghibahkannya ke museum-museum terdekat.
Tanpa bermaksud antipati terhadap berbagai metode atau terapi pengobatan serta penyelesaian masalah-masalah rumah tangga dengan cara ruqyah sebagai metode yang pernah dilakukan dan diajarkan Nabi Muhammad SAW, penulis berusaha meluruskan anggapan bahwa keris memiliki “penunggu” yang dapat menjahati pemiliknya adalah tak sepenuhnya benar.
Karenanya, adalah hal yang sama sekali tidak bijaksana bila seorang pe-ruqyah, tanpa adanya pengetahuan yang mumpuni mengenai perkerisan untuk mengetahui mengapa keris tersebut membawa pengaruh negatif lantas menyuruh pasiennya untuk membuang pusaka yang dimilikinya karena pusaka-pusaka itu “dituduh” dihuni makhluk jahat yang mengganggu pemiliknya karena sebenarnya bisa jadi efek tersebut muncul karena ketidakcocokan antara keris dengan pemiliknya sehingga membawa pengaruh buruk.
Malapetaka, Sakit-sakitan Hingga Kematian
Cerita sejarah mencatat, memang tak semua keris membawa pengaruh positif bagi pemiliknya bahkan banyak diantaranya yang justru membawa keburukan dan petaka bagi pemiliknya. Karenanya, berangkat dari pengalaman dan cerita-cerita mistis yang kerap terjadi dan dialami oleh para penggemar dan pemilik keris, masyarakat secara garis besar membagi keris menjadi dua golongan besar; Keris-keris pembawa keberuntungan serta keris-keris pembawa kesialan bagi pemiliknya.
Dalam berbagai cerita sejarah yang telah menjadi dongeng, masyarakat mengenal cerita keris pembawa kesialan bagi Dinasti Rajasa, para keturunan Ken Arok yakni keris buatan Empu Gandring yang menewaskan Ken Arok beserta tujuh keturunannya. Keris ini membawa kesialan akibat kutukan Sang Empu yang harus meregang nyawa akibat tusukan keris buatannya sendiri karena Ken Arok tak sabar bila keris pesanannya harus terlalu lama selesai dibabar.
Sejarah kemudian mencatat Keris Kiai Margopati milik Sunan Amangkurat I (1645-1677M), salah satu Raja dinasti Mataram Islam sebagai salah satu keris pembawa bencana. Sejak awal Empu Madrim, pem-babar-nya, menolak untuk membuat keris ini karena meteor yang jatuh menimpa rumah dan menewaskan tujuh penghuninya tersebut adalah meteor berkandungan besi berjenis Besi Kumbayana, yang berhawa panas, mudah marah dan brangasan. Meski demikian, Madrim tak mampu menolak perintah karena Amangkurat menyuruhnya memilih, mem-babar keris tersebut atau dihukum pancung akibat menolak perintah raja.
Toh akhirnya ketakutan itu terbukti, keris Margopati dipergunakan untuk mengeksekusi 50 ulama yang dituduh membantu pemberontakan Trunojoyo di Jawa Timur serta membunuh 40 selirnya yang dituduh berkhianat. Tragisnya, seluruh eksekusi itu dilakukan dengan tangannya sendiri.
Selain kisah sedih, sejarah perkerisan juga mencatat kisah-kisah bahagia yang dipercaya akibat dari tuah sebilah keris pusaka.
Perampokan, bencana alam, wabah penyakit, perang saudara, dan aneka kekacauan di akhir masa pemerintahan Majapahit begitu parah dan menyentuh semua sisi kehidupan masyarakat. Bahkan saking parahnya, seakan tak ada lagi cara lagi untuk menyelesaikan kemelut di bumi Majapahit saat itu. Bahkan, masyarakat seolah memahami bahwa itu adalah Sandyakalaning Majapahit, atau saat menjelang kejatuhan Majapahit.
Telepas dari aspek sosiopolitis yang diartikan beberapa pengamat perkerisan mengenai lahirnya Keris Nagasasra, tetapi nyatanya, Keris ber-dapur Nagasasra yang konon merupakan babaran Dyan Supa yang dibantu Sunan Kalijaga ber-paraban Kiai Segara Wedang ini yang sejak awal dibuat sebagai tumbal nagari agar terhindar dari seribu malapetaka ini atas kuasa Tuhan mampu memancarkan tuahnya secara maksimal sehingga beberapa waktu kemudian Majapahit sempat mengalami masa-masa indah sebelum kemudian runtuh total akibat perang saudara yang berkelanjutan dan serangan Raden Patah dari Demak sebagai pewaris sah tahta Majapahit terhadap Keraton yang tengah dikuasai Girindrawardhana..
Dalam kehidupan masyarakatpun, cerita mengenai keris pembawa keberuntungan dan pembawa kesialan seringkali kita dengar. Minimnya pengetahuan masyarakat mengenai perkerisan membuat keris-keris yang dianggap bertuah buruk harus berakhir tragis, harus dibuang atau di-larung di sungai atau di laut padahal keris adalah mahakarya seni yang harus dilestarikan. Seringpula kita mendengar berbagai cerita yang ada dan berkembang di masyarakat mengenai keris yang dapat membawa malapetaka bagi pemiliknya seperti rumah tangganya berantakan, pemilik dan keluarganya sakit-sakitan hingga menimbulkan kematian.
Benda Paling Pribadi Laki-laki Jawa
Satu hal pasti yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana sebilah keris mampu membawa pengaruh kepada pemiliknya baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif dan apakah dugaan sebagian orang yang mengatakan bahwa pengaruh negatif itu muncul akibat adanya ”makhluk jahat” yang mendiami keris.
Jika anda telah membaca buku ini dari awal, tentu kedua pertanyaan itu bukan pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Sebagai benda yang dibuat secara pribadi untuk pribadi yang lain, keris adalah barang yang bersifat sangat pribadi, bahkan tak dapat dipinjam-pinjamkan bahkan meski hanya untuk dilihat karena pada dasarnya keris adalah benda paling pribadi bagi para lelaki masyarakat Jawa.
Dalam sejarahnya, keris memang dibuat sebagai barang yang bersifat privat dan personal karena itu pada zaman dahulu seorang empu hanya membuat keris berdasarkan pesanan seseorang. Karena itu, pembuatan sebilah keris terlebih dahulu dihitung berdasarkan hal-hal pribadi pemesan termasuk diantaranya weton, wuku, katakteristik, dan pekerjaan calon pemiliknya. Setelah diketahui kesemuannya, sang Empu lantas bersemedi untuk memikirkan dan mencari petunjuk bagaimana bentuk dan jenis keris, dhapur, pamor, bahan besi hingga doa atau sugesti yang dimasukkan yang akan di-babar-nya dan setelah telah diketahui kesemuannya barulah keris yang dimaksud dibuat dan di-babar.
Pemilihan dan penggarapan keris akan dilakukan dengan sangat berhati-hati dan penuh ketelitian agar nantinya tak membawa efek negatif bagi pemiliknya. Sebuah kesalahan kecil dapat berakibat fatal seperti kisah Mpu Banyu Aji saat membabar keris Kyai Setan Kober yang dikemudian hari menjadi pusaka Arya Penangsang. Saat membaca mantra, konon, sang Empu salah ucap dari yang seharusnya Aywa Kudu Wani yang arti barang siapa yang memegang keris ini, jadilah orang sabar tetapi salah ucap menjadi Aywa Tan Wani, siapa yang memegang keris ini jadilah berani dan sejarah mencatat keberanian Arya Penangsang yang luar biasa.
Secara esoteri, tuah keris pun dibuat berdasarkan pertimbangan yang bersifat sangat pribadi sehingga tuah keris yang dipesan para pedagang selalu berkisar pada kejayaan berdagang, tuah keris seorang Raja, Bupati dan Wedana selalu mengenai kepemimpinan, keris seorang guru, ulama, dan dhalang wayang selalu berkaitan dengan kemampuan berbicara dan seterusnya. Setelah proses pembuatan keris selesai, pemesan lantas mengambil keris yang diinginkannya seraya membawa sejumlah barang sebagai mahar untuk melunasi biaya pembuatan keris yang diinginkannya.
Pada zaman dahulu kala, mahar atau ongkos pembuatan keris sangat luar biasa mahalnya, sebilah keris bisa seharga lima hingga belasan ekor kerbau, sekitar limapuluh hingga ratusan juta rupiah jika dinilai dengan mata uang masa kini. Bukan itu saja, jika pemesannya puas, ia tak segan-segan memberi empu hadiah baik berupa tanah, emas, jabatan hingga diberikan wanita untuk dinikahkan dengan sang Empu.
Karenanya, setelah sebilah keris jadi, maka keris itu akan menjadi bagian penting dari kehidupan pribadi pemiliknya sehingga hal-hal yang bersifat pribadi seorang laki-laki Jawa saat itu seperti perkawinan dapat diwakilkan kepada kerisnya. Bahkan Rafless dalam adikaryanya yang terkenal, History of Java mencatat Javanesse man fell nude without krises, Lelaki Jawa akan merasa telanjang tanpa menyandang keris sebagai kelengkapan berbusana.
Sebagai benda pribadi, berbagai upaya pun dilakukan guna menjaga kerahasiaan kerisnya salah satunya dengan mengganti gonjo kerisnya dengan gonjo wulung karena ada orang-orang tertentu yang memang bisa melihat kekuatan tuah keris hanya dengan melihat bagian bawah gonjo yang terlihat ketika sebilah keris disarungkan ke dalam warangka-nya.
Lunturnya Kawruh Paduwungan
Sebagai benda yang sangat berharga, keris kemudian menjadi dianggap sebagai benda yang pantas diwariskan kepada anak cucunya. Kemudian keris pun menjadi benda pusaka yang diturunkan dari generasi ke generasi. Para generasi terdahulu, umumnya masih begitu memahami berbagai ajaran-ajaran kejawen termasuk di dalamnya kawruh padhuwungan atau ilmu pengetahuan mengenai seluk beluk perkerisan, antara lain berisi pengetahuan jenis besi, nama dapur dan pamor hingga masalah tanjeg atau kecocokan tuah keris terhadap pemiliknya.
Dengan pengetahuan tersebut, ketika seseorang sudah tua dan merasa sudah saatnya memberikan keris kepada anak-anaknya, para generasi tua terlebih dahulu melakukan usaha pencocokan mengenai siapa dari anaknya yang cocok ngagem pusakanya dan memberi penjelasan kepada anak-anaknya yang lain yang kebetulan tidak mendapatkan warisan pusakanya bahwa putra yang dipercaya ngagem pusaka hanyalah putra yang “kuat” membawa pusaka tersebut.
Penggunaan istilah “kuat” sebenarnya hanyalah alasan yang lebih mudah diterima daripada menjelaskan secara panjang lebar bahwa tidak semua anak-anaknya dapat cocok dengan tuah pusaka tersebut. Proses pewarisan pusaka dengan cara seperti ini dapat dikatakan hampir pasti tidak membawa pengaruh negatif kepada generasi yang mendapatkan warisan keris karena pada zaman itu seorang ayah atau kakek memahami dua hal sekaligus, memahami ilmu perkerisan dan memahami karakter dan pribadi calon pewaris keris-kerisnya sehingga ketika keris tersebut jatuh di tangan sang pewaris keris itu mampu bertuah sebagaimana mestinya tanpa ada dampak negatif.
Seiringnya perkembangan waktu dan kemajuan zaman, nilai-nilai kejawen yang termasuk di dalamnya kawruh padhuwungan pun mulai ditinggalkan masyarakat akibatnya tak banyak lagi masyarakat yang tahu dan memahami masalah perkerisan dengan baik sementara proses pewarisan keris dari generasi ke generasi terus berlangsung sebagaimana mestinya. Akibatnya, mulai muncullah masalah antara keris dan pemiliknya.
Pengaruh Positif dan Pengaruh Negatif
Sebagai benda pribadi, keris dibuat secara khusus agar memiliki tuah yang sesuai dengan kepribadian dan kebutuhan pemiliknya sehingga kekuatan-kekuatan tuah keris dapat secara maksimal mendukung upaya pemiliknya untuk mencapai cita-cita atau keinginannya.
Dari pengungkapan misteri kekuatan tuah dapat kita ketahui bahwa keris yang mampu memberi pengaruh positif kepada pemiliknya adalah keris-keris yang kekuatan-kekuatan tuahnya secara keseluruhan sesuai dengan apa yang dibutuhkan pemiliknya untuk mencapai cita-cita yang diinginkannya demikian pula sebaliknya, pengaruh negatif dari sebilah keris muncul karena kekuatan-kekuatan tuah keris tak sesuai dengan apa yang dibutuhkan pemilik keris. Artinya, dugaan masyarakat kita selama ribuan tahun yang menyatakan bahwa pengaruh-pengaruh itu muncul karena ulah makhluk halus yang mendiami sebilah keris tak dapat sepenuhnya dibenarkan karena pada dasarnya kekuatan tuah bukan sekedar berasal dari kekuatan makhluk halus.
Sebagai contoh, melalui pendekatan auratis dan sugesti posipnotis mengenai tuah keris dapat diketahui bahwa keris-keris yang dianggap membawa pengaruh negatif sebagai penyebab perpecahan dan pertengkaran dalam rumah tangga bisa jadi dikarenakan keris tersebut dulunya sebenarnya diciptakan untuk piandel berperang sehingga menimbulkan sugesti keberanian dan tak kenal rasa takut bagi pemiliknya.
Karenanya, jika keris tersebut disimpan oleh suatu keluarga dengan karakter masing-masing pribadinya adalah pendiam, flamboyan dan romantis tentu saja tak cocok karena akan tuah keris tersebut mensugesti pemiliknya menjadi pribadi yang tegas, temperamental, berani dan tak kenal takut sehingga ketika ada masalah kecil yang muncul sebagai kewajaran dalam rumah tangga akan diselesaikan dengan sebuah pertengkaran besar. Pertengkaran-pertengkaran inilah yang dapat memicu sebuah perceraian.
Demikian pula keris-keris yang dipercaya dapat membawa pengaruh sakit-sakitan hingga kematian secara ilmiah dengan teori-teori yang penulis ungkapkan seperti teori aura maupun teori posipnotis. Aura buruk yang dipancarkan keris akan merusak sistem bio-elektrik seseorang sehingga mempengaruhi kinerja sel, jaringan hingga organ pemiliknya hingga menyebabkan sakit-sakitan bahkan berujung pada kematian yang dalam bahasa kedokteran disebut disfungsi sub-organ and organ.
Dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya tudingan yang menyatakan bahwa keris dapat membuat seseorang menjadi sakit-sakitan dan rumah tangganya berantakan akibat makhluk halus penghuninya mengganggu manusia adalah sangat kurang beralasan, sebab pengalaman dan sejarah menunjukkan efek buruk dari sebilah keris baru muncul ketika keris tersebut tak cocok dengan pemiliknya, dan bila cocok dengan pemiliknya bi idznillah keris justru mampu mendatangkan manfaat bagi pemiliknya.
Bukti-Bukti Sejarah
Perjalanan sejarah bangsa membuktikan bahwa para pemimpin, pejuang, dan orang-orang sukses terdahulu yang dalam kehidupan dekat dengan pusaka, kesuksesan-kesuksesan yang diraihnya selalu didukung oleh pusaka-pusaka yang tepat.
Pusaka milik Arya Penangsang adalah pusaka yang tepat sehingga keberaniannya tak tertandingi oleh siapapun, bahkan dalam kondisi terluka parah dengan usus terburai pun tak mengikis keberaniannya sehingga mati sebagai seorang ksatria pemberani.
Panglima Besar Jenderal Sudirman didampingi pusaka yang tepat sehingga berkali-kali diselamatkan Tuhan dari serangan Belanda meski kondisi fisiknya sangat lemah dan harus ditandu ketika memimpin perang gerilya melawan Belanda.
Presiden Soekarno juga memiliki pusaka-puska yang luar biasa sehingga selama hidupnya, bahkan hingga wafat, menjadi pusat kekaguman bukan hanya bagi masyarakat Indonesia tetapi juga bagi masyarakat dunia.
Dengan keris yang tepat pula, Kanjeng Kyai Ageng Sengkelat, pusaka yang mensugestikan keabadian dan kelanggengan kekuasaan Presiden Soeharto sukses memimpin bangsa ini dalam jangka waktu yang luar biasa panjangnya, 32 tahun.
Dari bukti-bukti sejarah tersebut dapatlah kita ambil kesimpulan bahwa agar tuah pusaka-pusaka yang kita miliki dapat mengantar kita pada kesuksesan yang kita inginkan maka hal yang paling penting yang harus kita lakukan adalah : Mencocokkan Pusaka-pusaka kita dengan apa yang ingin kita raih! Dengan demikian, keris-keris yang kita miliki akan mampu menjadi keris pembawa keberuntungan, bukan sebaliknya keris pembawa kesialan.