Perhelatan akbar keris nusantara yang bertajuk Keris Kamardhikan Award bulan Agustus lalu menorehkan sejarah perkerisan yang luar biasa; para empu masa kini telah mampu melahirkan adikarya-adikarya perkerisan yang luar biasa sehingga mampu melanjutkan tradisi pembuatan keris ditanah air sebagai salah satu budaya adiluhung bangsa. Tingginya kualitas keris-keris empu masa kini, yang masih tak sedikit pula tetap melestarikan tata laku pembuatan keris tradisional, membuat keris-keris tersebut layak menyandang predikat sebagai keris tangguh kamardhikan yang bercirikan utama pada kemerdekaan memilih bentuk baik bentuk-bentuk konvensional dengan mutrani keris-keris tangguh sepuh ataupun merdeka memilih dan merancang keris-keris dengan dapur baru yang belum pernah ada sebelumnya.
Keris Kyahi Kondo karya Empu Subandi, Jalak Ngore karya Empu Sukamdi dan Pasopati karya Sanggar Sentosa adalah sedikit contoh ketinggian keahlian empu-empu kamardhikan untuk mutrani keris dapur klasik sedangkan keris Kyahi Sardula Kasmaran karya sanggar Sentosa, Kyahi Kolo Nggremet yang juga karya sanggar Santosa, Kyahi Satrio Gugah karya KRT.Toni Junus dan Kyahi Gelombang Cinta karya Empu Sukamdi juga telah dapat mewakili ketinggian kualitas dan intangible aspect dari babaran dapur baru para empu kamardhikan.
Peluang dan Tantangan Globalisasi Keris
Selanjutnya, keris tangguh kamardhikan dihadapkan pada sebuah peluang sekaligus tantangan bahwa tak dapat dipungkiri diapresiasinya keris oleh para kolektor pisau dan senjata tajam internasional memaksa para empu kita untuk segera menentukan sikap demi menjamin kelangsungan hidup tradisi perkerisan sebagai ikon budaya adiluhung bangsa.
Bagaimanapun, apresiasi dunia internasional terhadap keris akan memunculkan kerawanan atas Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) mengingat beberapa kali sudah kekayaan intelektual dan budaya bangsa ini diklaim secara sepihak oleh bangsa lain. Demikian pula, kekayaan tradisi perkerisan nusantara juga mulai dibajak diluar negeri dengan mudahnya kita temukan pisau-pisau bermerk internasional asal Amerika yang menggunakan pola pamor grasshopper wing, shark tooth atau rainy gold yang tak lain adalah pamor-pamor yang kita kenal sebagai lar gangsir, untu hiu (yang sangat mirip dengan pamor untu walang) dan udan mas.
Karenanya, pendaftaran HaKI secara kolektif atas 400-an jenis dapur keris dan 160 ragam pamor mutlak harus segera dilakukan dan sebagai peninggalan budaya bangsa adalah kewajiban mutlak bagi pemerintah untuk melakukannya.
Pentingnya Signature Keris
Sedangkan bagi para empu kamardhikan menyongsong globalisasi keris hal mutlak yang harus dilakukan adalah pemberian signature yang dalam bahasa Jawanya dapat kita sebut sebagai tetenger atau penanda khas pada keris-keris ciptaannya sebagai “trade mark” sekaligus penanda indentitas sang empu yang berbeda antara satu empu dengan empu-empu lain sehingga masyarakat secara luas akan mudah mengenal karya-karyanya terutama yang dalam bentuk mutrani keris-keris klasik.
Empu-empu terdahulu pada dasarnya telah memberi tetenger pada keris-keris ciptaannya sehingga generasi-generasi selanjutnya akan dengan mudah mengenali siapa pembuat keris miliknya seperti Empu Jaka Sura yang menandai pesi keris-keris buatannya dengan tindikan yang menurut legenda awalnya bertujuan agar mudah membawa keris-kerisnya dengan di-rentengi.
Ada juga Empu Umyang yang menandai keris-keris ciptaannya dengan pucukan keris luknya yang menghadap kebelakang, Empu Luwing yang selalu membuat keris ngigir lembu dan ada-ada yang tegas atau Empu Supadriya yang menandai keris-keris buatannya dengan pesi berbentuk puntiran.
Pada zaman kamardhikan masih ada empu yang berusaha tetap memakai tetenger pada kerisnya seperti Empu Guno Sasmito dari Magetan, Jawa Timur yang menandai keris-keris atau tombak ciptaannya dengan pesi berbentuk sirah gundala. Khusus pada keris, Empu Guno menambahi penanda khusus dalam bentuk tikel alis yang nggelung keatas.
Selain penanda khas seperti diatas masih ada banyak penanda khas lagi yang dipakai empu terdahulu seperti bentuk pesi tapak jalak, kotak, peli kethek, atau bentuk pucukan yang mbuntut tumo, nyujen atau bentuk-bentuk lain pada detail bagian-bagian bilah keris.
Penanda khas seperti ini sejak ratusan tahun lampau juga telah digunakan oleh para empu katana, senjata khas samurai jepang dengan memberi inisial, tanda tangan atau nama pada pedang-pedang buatannya (mei) yang diletakkan pada bagian pesi yang tertanam pada gagang pedang sehingga tak dapat dilihat secara telanjang sehingga katana lebih mudah dikenali siapa pembuatannya dan kapan dibuat seperti katana-katana buatan Soshu, Yamashiro, Bizen, Mino dan Yamato pada Era Kamakura (1185-1331 M).
Sebenarnya, tanpa diberi penanda khususpun setiap empu secara alami akan memiliki penanda khusus pada karya-karya baik dalam bentuk pilihan ketebal-tipisan bilah keris atau pada penggarapan detail-detail keris lain tetapi harus diakui, pengamatan tetenger alami seperti ini akan butuh waktu yang lama dan perlu kejelian yang teramat sangat.
Apalagi, munculnya mesinisasi keris membuka lebar berbagai peluang penduplikasian keris dengan tujuan atau alasan apapun sehingga pemberian tetenger pada keris akan memperjelas identitas setiap empu pada keris-keris ciptaannya.
Dengan demikian diharapkan akan muncul nama-nama besar empu keris sebagai pengrajin senjata tajam bermutu dengan reputasi internasional seperti Sheffield dari Inggris, Fairbairn, Damaskus Style dari Suriah, atau Teddy Cardin dari Hegarmanah, Bandung yang cukup tersohor dikalangan kolektor pisau dunia.
Tetenger dan Ilmu Tangguh
Lebih dalam, berdasarkan pengamatan penulis, pada dasarnya tetenger-tetenger yang diciptakan oleh para empu-empu terdahulu memiliki keterkaitan erat dengan tangguh atau prakiraan penjamanan dibuatnya sebilah pusaka karena pada dasarnya tata aturan tangguh sendiri tak lepas dari paugering praja ing reh padhuwungan atau aturan kerajaan dalam hal perkerisan.
Karena itu, keris-keris dalam satu zaman dipastikan memiliki tetenger yang sama berupa satu atau dua kesamaan ciri khas seperti keris-keris tangguh Tuban yang memiliki kesamaan bentuk ganja yang nyebit rontal. Artinya, ada dua tetenger yang dibuat oleh para empu terdahulu yakni tetenger pribadi untuk menunjukkan identirtas sang empu juga tetenger kolektif untuk menunjukkan zaman dibuatnya keris tersebut.
Dengan demikian, akan sangat mungkin, jika kita mengumpulkan ribuan atau bahkan puluhan ribu keris untuk dipelajari tetenger-tetenger-nya kita akan dapat melakukan dokumentasi terhadap prakiraan penjamanan keris-keris dari zaman ke zaman sehingga penangguhan yang selama ini masih sebatas kawruh akan dapat terdokumentasikan berdasarkan uji fisik ribuan bilah keris yang ada.
Dengan cara tersebut, upaya pemastian umur sebuah pusaka akan lebih dapat dilakukan dan didokumentasikan secara ilmiah sehingga krisologi akan dapat semakin terlengkapi sembari menunggu diperbolehkannya penggunaan C 14 atau karbon arang untuk memastikan umur pusaka secara lebih akurat.
Karenanya, selain sebagai penanda indentitas, tetenger pada keris-keris kamardhikan mutlak diperlukan untuk memberi kejelasan mengenai batasan rentang waktu terhadap karya-karya yang bisa disebut sebagai tangguh kamardhikan karena beberapa pihak mengatakan bahwa keris-keris yang bisa disebut keris tangguh kamardhikan adalah keris-keris buatan pada kurun waktu 1945 hingga 1998 saja sementara sesudahnya disebut sebagai keris tangguh reformasi.
Tetenger Pada Keris Kamardhikan
Masih terbuka luas kesempatan bagi para empu kamardhikan untuk memberi penanda khas bagi keris-keris karyanya agar lebih mudah dikenali dan memiliki trade mark yang kuat bahkan tetenger ini dapat di patenkan sebagai penanda karya seorang empu.
Para empu bisa mengkombinasikan kekhasan daerahnya sebagai penanda khas pada daerahnya seperti Empu Rudi, Surabaya misalnya dapat menggunakan pesi berbentuk Tugu Pahlawan atau endas baya untuk menandai karya-karyanya sekaligus menandai bahwa beliau adalah empu dari Kota Surabaya.
Demikian juga Empu Subandi bisa menandai keris-keris ciptaannya dengan pesi berbentuk paku sebagai penanda karya empu kamardhikan di tlatah Paku Buwanan, Solo. Empu-empu Yogyakarta juga dapat menandai karyanya dengan bentuk pesi serupa Tugu Yogya atau pucukan berbentuk mahkota seperti bentuk bagian atas lambang Keraton Yogyakarta Hadiningrat.
Bisa juga digunakan penanda khas lain seperti pemasangan inisial nama sang empu baik dalam bentuk tatahan emas atau hanya ukiran relief biasa dengan huruf Jawa atau abjad seperti yang ada pada keris karya M. Ng. Suyanto Wiryocurigo-Solo yang menjadi koleksi Duta Besar Belgia untuk Indonesia, Marc Trenteseau yang berhias sinarasah mas dengan inisial Marc dalam dua bentuk, huruf jawa Mo – To dan abjad M –T.
Dengan cara ini, masyarakat akan lebih mudah mengenali para empu pembuat keris tangguh kamardhikan sehingga lebih mudah melakukan apresiasi terhadap keris-keris masa kini yang selanjutnya memupuk kecintaan masyarakat luas terhadap keris sebagai warisan budaya adiluhung bangsa Indonesia. Selain itu juga merupakan upaya penghormatan yang lebih terhadap kreatifitas dan inovasi para empu dalam berkarya.
Arief Syaifuddin Huda, Awal November 2008
Sumber-sumber :
1. Buku Ensiklopedi Keris.
2. Buku Keris antara Mistik dan Nalar.
3. Majalah PAMOR edisi Juli-September 2008.
4. Majalah PAMOR edisi Januari-Maret 2008.
5. Majalah Intisari edisi Januari 1998.
6. Art of Asia Magazine, March-April Edition 1991.
7. Katalog Pameran Keris Kamardhikan Award 2008.
Signature Pada Keris-keris Tangguh Kamardhikan
Langganan:
|